Pendirian Taman Siswa

Sekembalinya ke Indonesia pada 1919, Soewardi telah lebih matang. Ia sempat memimpin National Indische Partij (NIP) dan beberapa terbitan majalah. Pada 1921, ia juga mengajar selama satu tahun di sekolah Adhidaharma yang dipimpin kakaknya, Suryopranoto.

Soewardi juga bergabung di Paguyuban Selasa Kliwon, yang mempunyai cita-cita utama mengayu-ayu saliran, mengayu-ayu bangsa, lan mengayu-ayu manungsa (membahagiakan diri sendiri, bangsa, dan umat manusia). Kelompok ini berpandangan, kemerdekaan mesti didasari dengan penanaman benih kebangsaan sejak kanak-kanak. Karena kesadaran akan pendidikan ini, mereka punya visi untuk mendirikan sekolah.

Soewardi pun ditugasi untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak. Ia kian mendapat dorongan untuk mengupayakan pendidikan. Bagi Soewardi, pendidikan adalah strategi barunya dalam perjuangan. Para sahabat Soewardi juga mendukungnya.

“Kita sudah cukup lama menggempur benteng musuh, kini sudah waktunya kita membangun benteng kita sendiri,” kata Douwes Dekker.

Soewardi lantas mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Dimulai dari Yogyakarta, perguruan ini lantas meluas ke seluruh Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Ambon.

Saat itu, wawasan Soewardi tentang pendidikan telah kian luas. Ia mempelajari banyak konsep pendidikan, terutama dari tokoh-tokoh seperti Maria Montessori di Italia dan Rabindranath Tagore di India. Kedua pemikiran tokoh tersebut ia kagumi, tetapi Soewardi pun punya kritiknya sendiri.

Montessori bertujuan mengoptimalkan perkembangan kognitif dan panca indera anak. Namun, menurut Soewardi, metodenya kurang menyentuh perkembangan batin anak-anak. Sementara itu, Tagore menggunakan pendidikan untuk memperkokoh batin dan religiusitas manusia, tetapi kurang memberi perhatian pada masalah kognitif dan psikologis.

Lewat Perguruan Taman Siswa, Soewardi mengedepankan pendidikan kognitif sekaligus budi pekerti. Ia juga menggagas metode among, yaitu pendampingan oleh guru agar anak didik tumbuh dan berkembang berdasarkan kekuatan sendiri.

Semboyan pendidikannya yang terkenal: ing ngasro sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Artinya, guru seyogianya menjadi teladan di depan, memberi dukungan untuk siswa, serta mendorong para siswa untuk mencari pengetahuan dan belajar mandiri.

Pada 3 Januari 1928, Soewardi melepas gelar kebangsawanannya dan mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Nama yang kita kenal sampai kini.

Sejak mendirikan Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara pun giat memperjuangkan pemerataan pendidikan, dengan segala dinamikanya. Proklamasi kemerdekaan, yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, adalah saat yang begitu membahagiakan bagi Ki Hadjar. Dengan upaya bersama yang dirintis panjang, bangsa Indonesia dapat memerdekakan dirinya. Karena kiprahnya di bidang pendidikan, Ki Hadjar diangkat menjadi Menteri Pendidikan yang pertama.

Ki Hadjar Dewantara wafat pada 26 April 1959. Hari lahirnya, yaitu 2 Mei, lalu ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden No 316 pada 16 Desember 1959.

sumber : https://klasika.kompas.id/baca/sejarah-ki-hadjar-dewantara-bapak-pendidikan-nasional/